Senja tetap setia menggelayut di langit kampus, tak pernah mengkhianati waktu seakan hendak memberi sebuah harapan bagi
yang memandang. Matahari tak lagi tegak di atas kepala, kian condong, ke barat tentunya karena ia tak akan mengkhianati titah Tuhannya. Segores
mega senantiasa setia menemani senja yang menggelayut manja persis di langit
kampus. Membuat langit tak lagi sejuk dengan birunya, namun indah
dengan jingganya. Jingga yang sama saat pertama kakiku menjejak di sini, di
hamparan rumput hijau di tepian danau. Sudut favorit untuk menikmati hari-hari
perjuangan di kampus ini.
Klaster, kelas terbuka. Sudut kampus yang tak pernah
alpa ku kunjungi selain kelas-kelas bisu penuh ilmu. Sama seperti senja ini
dengan senja-senja sebelumnya, aku sempatkan diri untuk menikmati senja di
kampus. Aku duduk beralaskan hijaunya rumput -sedikit basah bekas gerimis yang
amat sebentar- persis di pinggiran klaster. Posisi terbaik memandang danau yang
memisahkan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dengan Fakultas Teknik. Tentu saja
ada sebuah pohon rindang yang menaungi tempat dudukku saat ini, memberikan
keteduhan serta menambah ketenangan ketika memandang riak-riak danau yang kian memanjang.
Senja memang begitu menarik untuk dinikmati, nyatanya
tak hanya aku yang riang menikmati senja. Aku perhatikan sekeliling, klaster
ini tetap berpenghuni meski tak sebanyak saat jam makan siang. Di sebelah
kanan, ada seorang laki-laki berjaket merah lengkap dengan logo institusi
beasiswa di punggungnya duduk menyendiri di sudut klaster yang lain, di
pinggiran klaster dekat dengan sisi danau. Kurang lebih lima puluh meter dari
tempatku menikmati senja. Ia sibuk memijit tuts keyboard laptopnya sambil mendengarkan sesuatu dari earphone yang hinggap di telinganya
sambil sesekali tersenyum memandang danau, mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu
kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Sekelompok mahasiswa baru turut meramaikan suasana
senja hari ini. Mereka memilih menempatkan diri di lantai mozaik yang ada di
klaster. Kalau tidak salah hitung, ada empat lantai mozaik di klaster ini dan
mereka menempatkan diri di lantai mozaik yang terletak di sisi tengah klaster.
Mereka terlihat sibuk mempersiapkan banyak hal. Mereka membawa spraypaint, spidol, spanduk, dan
peralatan dekorasi lainnya. Terlihat cekatan dan hanya sesekali terdengar canda
dari tempat mereka berkumpul.
Beberapa kali aku merasa terganggu ketika menikmati
senja di sudut ini. Begitu juga dengan senja kali ini. Genderang -atau entah
apa- tak berhenti ditabuh. Terus dimainkan seolah klaster ini tercipta dengan
busa peredam suara di sisi-sisinya. Tangan-tangan penabuhnya begitu elok
memainkan genderang dengan ritme yang sebenarnya tak aku tahu. Setiap kali
suara itu terdengar, aku berusaha mencari arah suara. Tepat di sisi paling jauh
dari danau suara itu berasal, tapi dengan malas, tak aku pedulikan meski hanya
sekadar melihat tangan siapa yang menari di atas genderang itu.
Kembali aku edarkan pandangan menyapu seluruh bagian
klaster. Aku lihat beberapa orang berjilbab berlari tergesa-gesa menuju
mushola, mungkin baru keluar kelas sehingga syukur pada Khaliknya baru akan ditunaikan. Dari
tempat aku menikmati senja ini, aku dapat melihat mushola dan penghuninya.
Pintu sisi kanan mushola kini dibuka, mempermudah akses bagi mereka yang
sedang melakukan kegiatan di klaster.
Kembali aku edarkan pandangan menyapu seluruh bagian
klaster sebelum akhirnya kembali fokus pada rutinitas menenangkan ini. Aku
lihat beberapa mahasiswa masih berlalu lalang
atau bahkan berteriak memanggil temannya yang telah jauh
mendahului. Aku lanjutkan prosesi
menikmati senja di pinggiran klaster. Memandang danau yang mengandung jutaan
galon air. Keruh memang, bahkan sama sekali tak layak disebut jernih. Namun ada
nuansa ketenangan ketika dengan seksama aku pandangi.
Dari posisi tempatku menikmati senja kali ini,
memandang ke depan adalah sesuatu yang menyenangkan. Di seberang danau aku
dapat melihat seorang bapak yang sedari tadi begitu serius memperhatikan danau.
Berdiam sebentar lalu menceburkan diri ke danau. Mengambil posisi yang tepat
lalu berdiri di pinggiran danau dengan setengah berendam lalu sigap menebar
jala. Menunggunya beberapa saat, dan mengikat tali ujung jala di sebuah tiang
yang tertancap di pinggir danau. Selesai mengikat tali, tanpa membuang waktu si
bapak menaiki gundukan tanah dan kembali ke atas. Mengambil jala yang lain dan
kembali memperhatikan danau. Melihat sisi terbaik menurut perhitungannya. Menebar jala dan melakukan hal yang sama
seperti sebelumnya.
Sejurus kemudian aku terkejut, seorang anak kecil
dengan pakaian kumal dan tak beralas kaki mengagetkanku dengan seruannya.
Seruan atau mungkin lebih tepatnya rengekan untuk membeli barang bawaan yang ia
bawa. Setumpuk koran masih setia hinggap di lengannya. Dengan halus aku tolak rengekan
yang terkesan memaksa itu. Aku tunjukkan koran yang sudah aku beli pagi ini
dari anak yang tak jauh berbeda dengannya, hanya saja ia terlihat sedikit lebih
rapi karena rambutnya yang belum terlihat berantakan. Tanpa basa-basi ia pun
pergi meninggalkanku, kali ini ia pergi menuju sekelompok mahasiswa baru yang
masih sibuk dengan kegiatannya.
Kembali aku posisikan diriku untuk menikmati senja.
Klaster memang tempat menyenangkan. Tak hanya kami, mahasiswa, kucing pun ikut
menikmati tempat menyenangkan ini. Kucing bercorak coklat putih itu duduk
menghampiriku. Merebahkan dirinya persis di sampingku. Baru sekali aku
menemukan jejak hajat kucing tertinggal di hijaunya rumput klaster, itu pun
dulu saat pertama kali mencicipi senja di sini. Selebihnya tak pernah aku
temui. Mungkin petugas berseragam biru itu benar-benar membersihkan setiap sisi
klaster dengan mendetail.
Senja semakin syahdu. Tak terasa memang jika
menikmati senja di tempat ini. Mahasiswa yang berlalu lalang melewati jembatan
Teksas pun kian sedikit. Aku lihat hanya ada seorang lelaki berwajah oriental
yang tergesa-gesa menuju Fakultas Teknik melalui jembatan Teksas. Begitu
tergesa-gesanya hingga tak sempat menoleh untuk sekadar menyapa senja yang
indah ini. Aku putuskan untuk mengakhiri prosesi menikmati senja hari ini.
Perlahan aku beranjak, aku bersihkan bajuku dan segera memeriksa kembali
bawaanku. Merasa tak ada yang tertinggal, perlahan aku berjalan meninggalkan
klaster.
Tujuanku kini adalah tempat aku memarkirkan motor.
Aku nikmati senja ini dengan berjalan perlahan. Menyusuri sudut kampus,
melewati depan mushola. Bertemu beberapa orang kawan, melempar senyum dan sapa
kemudian aku melanjutkan melangkah. Seolah tak mau berpisah dengan senja, aku
mendongak, menatap senja di langit kampus, dan keberuntungan sedang berpihak
padaku. Senja hari ini begitu indah. Persis di atas atap Kansas (Kantin Sastra),
aku lihat keelokan warna yang melengkung membentuk setengah lingkaran. Pelangi
tepat saat senja di kampus. Aku hentikan sejenak langkah untuk menikmati senja
terindah. Merekam dalam memori dan menyimpannya. Setelah merasa cukup, kembali
aku melangkah.
Aku susuri sisi Kansas. Senja ini dan sama dengan
senja sebelumnya, Kansas tak pernah sepi. Sesekali aku dengar gelak tawa dari
mereka yang sibuk dengan candanya. Asap rokok menyembul keluar persis di depan
wajahku. Angin dengan santainya membawa
asap rokok menyentuh wajahku. Tak sengaja hidungku menghirupnya, membuat
nafasku tertahan dan kemudian terbatuk. Aku memang alergi asap, terutama asap
rokok. Aku tutup setengah wajahku dengan tisu yang sedari tadi aku genggam dan
kembali melangkah menuju tempat parkir. Aku susuri sisi Gedung Delapan dan
melewati beberapa mahasiswa yang sedang asyik berdiskusi di bawah payung besar
yang di bawahnya terdapat meja dan kursi untuk berdiskusi.
Aku masuki tempat parkir melewati satpam yang tak
lelah berjaga menuliskan nomot plat motor kendaraan dan mencocokkannya dengan
kartu pas yang ada. Aku terus melangkah sambil melirik sepasang muda mudi yang
tengah bersiap meninggalkan kampus. Sang lelaki dengan lembutnya memakaikan helm di kepala wanita, yang aku taksir
adalah kekasihnya. Wanita dengan baju panjang motif bunga-bunga kecil berwarna
senada dengan jilbab kremnya tampak menurut. Lelaki itu kembali memastikan
keselamatan kekasihnya. Aku mengenalnya. Lelaki berkemeja biru yang tadi
memberikan tugas deskripsi Senja di Kampus
telah bersiap meninggalkan kampus. Mengeluarkan dan mengendarai motornya
perlahan keluar melalui pintu yang terdapat satpam penjaganya. Kekasihnya
membonceng di belakangnya. Tak lama, aku pun ikut pergi meninggalkan senja hari
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar