Rabu, 31 Agustus 2011

Aku dan Segala


             Mengenalmu merupakan hakikat makna kata terindah. Kesempatan berbuah emas peruntungan yang terpetik dari pohon keberuntungan. Berhenti pada hakikat makna kata terindah. Mengenalmu. Adalah segala. Bagiku. Mungkin tidak bagimu. Segala berbentuk pencapaian cita mimpi indah yang dimulai dari kebaikan nasib. Mengenalmu. Adalah segala. Bagiku. Mungkin tidak bagimu. Segala berbentuk untaian harapan tercipta. Perwujudan kehendak dengan berbagai rupa. Mengenalmu. Adalah segala. Bagiku. Mungkin tidak bagimu. Segala berbentuk realisasi rasa. Menyatu dengan berbagai ketidakpastian tanpa kesepakatan. Benar-benar segala. Hingga tak ada kata yang dapat menjadi padan membuatnya menjadi segala. Hanya integrasi kata yang menguasai bentuk sederhana sepadan segala. Kini aku biarkan sukma merasuk kata sempurna. Menyeringai penuh cinta. Merajut benang membersamai kata. Menemani hampa dengan keramaian tanpa tepi. Membentak pilu kesedihan yang terhenyak menjadi suka tanpa gulita. Syukurku tak henti membersamai setia. Begitu setia mendampingi kebersamaan setia dalam syukur. Dia begitu kuasa merajai hati. Mengenalmu. Adalah segala. Bagiku. Mungkin tidak bagimu. Segala yang tercipta lewat matamu. Mata indah tanpa cela. Sederhana. Dan aku setia bersyukur. Mengenalmu. Adalah segala. Bagiku. Mungkin tidak bagimu.  

Selasa, 30 Agustus 2011

Takdir Cintaku

Di tengah sayup-sayup gema takbir yang menghias langit malam ini. Aku kembali memikirkanmu. Kembali, sejak sepuluh tahun lalu. Sejak pertemuan pertama kita yang begitu amat sederhana. Bayanganmu sedetikpun tak pernah lepas dari setiap kejap mata yang memenuhi kedipan hati. Hampir sepuluh tahun bayanganmu setia menemani hariku. Hilir mudik di angan tanpa batas. Sederhana. Tak aku usir memang. Karena aku begitu amat menikmatinya. Aku tahu kau tak akan pernah melakukan hal yang sama. Sadar sesadar-sadarnya manusia. Layaknya hamba yang tersadar kekuasaan pemiliknya. Namun bukankah jodoh selalu Dia yang mengatur? Sang Pencipta Cinta dengan segala kuasanya. Jika Sang Pencipta Cinta berkehendak maka hatimu pun begitu mudahnya dibalikkan dari ketidakpedulianmu bukan? Baiklah, sepenuhnya aku akan membiarkan kuasa takdirku mengalir mempertemukan nasib dengan sang jodoh, dan aku masih berharap itu kau, sayang.

Sepertinya aku terlanjur setia dengan cinta. Cinta padamu tentunya. Aku sama sekali tak memiliki ruang kosong untuk cinta yang lain. Tidak juga untuk dia ataupun ia. Tak ada yang berhak menerima. Selain kau, sayang. Egois.Terbutakan mungkin lebih tepat. Bagiku, kaulah cintaku. Pertama, terakhir, dan selamanya. Pemaksaan. Tentu saja tidak. Aku tak akan pernah memaksakan kehendaku atas cintaku padamu. Biarlah aku mencintamu dengan cara terbaikku. Tentu saja. Aku telah banyak belajar tentang cinta. Dan aku pastikan dengan jaminan penuh, kau tak akan kecewa dengan caraku mencintamu. Hakikat cinta adalah melepaskan, semakin sejati cinta, semakin sejati untuk melepaskan. Kalimat itulah yang terpahat kokoh di dinding hatiku. Pemahaman cinta penulis yang amat aku cintai. Tulisan dalam karyanya maksudku. Cinta sejati tak harus memiliki bukan? Cukup melihatmu bahagia dengan cintamu maka bahagia pula aku dengan cintaku. Jika kau dan aku memang ditakdirkan untuk berjodoh, anganku, sejauh apa pun kita berpisah, suatu saat akan kembali. Dan saat itu aku akan membiarkan kuasa takdir mengalir mempertemukan nasib dengan sang jodoh, kau.

Sebuah Surat : Atas Nama Pengkhianatan

Jakarta, berbulan-bulan sejak penghianatan

Pengkhianatan. Sebuah kata bermakna amat menjijikkan yang belakangan ini menghantuiku ketika melalui hari-hari penuh kesenangan. Bukan pengkhianatan atas nama cinta layaknya kisah yang biasa kita tonton di berbagai sinetron yang memenuhi layar kaca, kawan! aku teramat muak memikirkannya jika kisah ini bercerita tentang cinta. Pengkhianatan banyak macamnya bukan? Pengkhiatan yang menyebabkan kekalahan politik misalnya, ya pengkhianatan macam itu bahkan amat sangat lebih memuakkan dibandingkan dengan pengkhianatan cinta, setidaknya begitulah pemahamanku –karena aku sendiri bahkan tak mengerti soal cinta.

                Mungkin akan aku awali kisah ini dengan sebuah ucapan terima kasih. Sebuah ucapan tulus dari sudut hati terdalam yang keluar tanpa paksaan, sudah aku bilang aku begitu  tulus mengucapkannya, kawan. Jadi aku harap kau tak lagi meragukan ketulusan ucapanku itu. Rasa terima kasih itu begitu amat besar dan tak ternilai, percayalah, karena memang tak ada nilai mata uang manapun yang dapat mengkonversi rasa terima kasihku. Terima kasih sayang, atas luka kecil –yang dalam- yang telah kau jejakkan di sudut hatiku. Jerih. Terima kasih sayang, kau tak hanya menjejakkan luka kecil –yang dalam- tetapi juga sempat membenamkannya ke dalam samudera garam. Perih. Terima kasih sayang, tak hanya cukup membenamkan dalam samudera penuh garam, kau berinisiatif mengumpankan hati terluka itu untuk predator laut yang siap mengoyak penuh rasa lapar. Pedih. Sudah aku bilang, terima kasih ku begitu amat tulus padamu. Sekali lagi aku yakinkan, kau tak perlu ragu atas itu. Asalkan kau puas. Semua akan menjadi cukup.