Selasa, 30 Agustus 2011

Sebuah Surat : Atas Nama Pengkhianatan

Jakarta, berbulan-bulan sejak penghianatan

Pengkhianatan. Sebuah kata bermakna amat menjijikkan yang belakangan ini menghantuiku ketika melalui hari-hari penuh kesenangan. Bukan pengkhianatan atas nama cinta layaknya kisah yang biasa kita tonton di berbagai sinetron yang memenuhi layar kaca, kawan! aku teramat muak memikirkannya jika kisah ini bercerita tentang cinta. Pengkhianatan banyak macamnya bukan? Pengkhiatan yang menyebabkan kekalahan politik misalnya, ya pengkhianatan macam itu bahkan amat sangat lebih memuakkan dibandingkan dengan pengkhianatan cinta, setidaknya begitulah pemahamanku –karena aku sendiri bahkan tak mengerti soal cinta.

                Mungkin akan aku awali kisah ini dengan sebuah ucapan terima kasih. Sebuah ucapan tulus dari sudut hati terdalam yang keluar tanpa paksaan, sudah aku bilang aku begitu  tulus mengucapkannya, kawan. Jadi aku harap kau tak lagi meragukan ketulusan ucapanku itu. Rasa terima kasih itu begitu amat besar dan tak ternilai, percayalah, karena memang tak ada nilai mata uang manapun yang dapat mengkonversi rasa terima kasihku. Terima kasih sayang, atas luka kecil –yang dalam- yang telah kau jejakkan di sudut hatiku. Jerih. Terima kasih sayang, kau tak hanya menjejakkan luka kecil –yang dalam- tetapi juga sempat membenamkannya ke dalam samudera garam. Perih. Terima kasih sayang, tak hanya cukup membenamkan dalam samudera penuh garam, kau berinisiatif mengumpankan hati terluka itu untuk predator laut yang siap mengoyak penuh rasa lapar. Pedih. Sudah aku bilang, terima kasih ku begitu amat tulus padamu. Sekali lagi aku yakinkan, kau tak perlu ragu atas itu. Asalkan kau puas. Semua akan menjadi cukup.


                Aku yakin kau tak memiliki banyak waktu untuk membaca kisah ini. Tapi sekali lagi aku yakinkan padamu sayang, aku hanya ingin berterima kasih. Tidakkah kau dapat merasakan ketulusanku ketika membaca kisah ini? Aku rasa kau akan mengerutkan dahimu. Menggores penuh tanda tanya di samping pikiranmu. Mengguratkan rasa heran di tengah kebingungan hatimu. Aku harap semua memang terlihat tulus. Kau sepakat bukan? Rasanya aku kembali pada kebiasaan lamaku, terlalu bertele-tele. Baik, kawan ! Aku akan mempercepat kisah ini dan segera membebaskanmu untuk segera kembali sibuk pada urusanmu. Aku sama sekali tak mengejekmu sayang, dengan berbagai nyanyian pilu itu meski kuucapkan atas nama terima kasih –yang tulus. Sungguh. Kau percaya padaku bukan?

                Aku mengirimkan kisah ini sama sekali bukan untuk menghakimimu. Bukankah semua sudah menjadi terang? Seterang bintang yang menghiasi gelapnya malam? Maaf aku harus kembali membuka kisahnya. Kau memang mengkhianatiku sayang, dengan berbagai tingkah laku dan perbuatan menjijikkan. Cukup! Kau tak perlu merobek kertas ini atau berpikir bahwa perdamaian kita sama sekali menjadi sebuah kesia-siaan? Tenanglah sayang, aku tak berdusta atas kata maaf yang aku berikan padamu. Bukankah kata seorang bijak, kita boleh memaafkan, tetapi sepatutnya janganlah melupakan? Setidaknya aku hanya melakukan apa yang disebutkan si orang bijak itu sayang.
               
                Aku pun tak akan berlama-lama mengenang kisah menjijikkan itu sayang, karena bahkan mengingatnya membuatku menyesal telah menghabiskan belasan tahun bersamamu, memikirkannya membuatku hilang selera membayangkan wajah manismu yang selalu menyertai langkahku, dan jika aku mengingatnya serta memikirkannya secara bersamaan membuatku ingin sekali mengakhiri kisah kita yang amat mengenaskan.

                Mungkin jika bukan kau sayang yang bertingkah penuh pura, hatiku masih dapat berkompromi dalam mengarungi kejamnya sebuah pengkhianatan. Ya aku tahu kau telah berkali-kali mendengarkan kalimat ini sayang. Tapi biarkan aku menuliskan ini untukmu. Omong kosong. Tenang sayang, aku berjanji tak akan menghabiskan waktumu hanya untuk membaca luapan emosi penuh suka cita pengkhianatan yang kau lakukan. Aku hanya ingin berterima kasih sayang. Sekali lagi aku yakinkan kau, aku hanya ingin berterima kasih. Luka itu memang tak akan hilang meski beribu maaf kau haturkan pada pemilik hati ini. Luka itu memang tak akan sembuh meski kau kirimkan ribuan pucuk bunga Mawar kesukaanku tiap aku membuka lembaran pagi. Luka itu tetap akan berbekas sayang, sama seperti kayu yang tetap akan meninggalkan lubang jika paku dicabut dari tubuh kayu itu.

                Kini semua telah berubah sayang. Aku tak lagi layu memandang kehidupan yang kian mengganas di tengah musim panas. Aku pun tak lagi basah memandang kehidupan yang sedan di tengah musim hujan. Jika bukan karena kau sayang, mungkin aku kian picik menghadapi kehidupan. Membiarkan hati terlalu lama menghampa tanpa jiwa meski kau sodorkan rasa penyesalan. Untung semua karena kau, sayang. Bukankah sudah aku bilang aku ingin berterima kasih? Kembali yakinkan dirimu sayang. Aku tak akan berkhianat atas makna kata yang kuucap. Metamorfosa hatiku sempurna mengembangkan sebuah makna baru atas sebuah pengkhianatan. Semua karena kau sayang.

                Pengkhianatan tak harus selalu dibalas dengan kata yang bermakna sama bukan? Tidak juga harus dibalas dengan kebencian lain yang menyertai dendam pengkhianatan. Layaknya cinta –kini aku sedikit  mulai mengerti tentangnya, pengkhianatan berhak mendapat penerimaan. Penerimaan dengan hati yang lapang dan penuh suka cita layaknya kita menerima cinta. Omong kosong. Begitu pikir banyak orang atas teori baruku memandang pengkhianatanmu sayang. Kau tak mengerti cinta, Bung! Kau tahu, kau sama sekali tak memiliki hak untuk menyetarakan pengkhianatan dengan cinta. Pengkhianatan sama sekali tak berhak kau sandingkan dengan kata seagung cinta. Efeknya jelas berbeda! Kau amat bodoh memaknai cinta, kau amat picik memaknai cinta dengan pemaknaan sesempit pengkhianatan. Kami amat tak rela penyetaraan itu.

                Umpatan mereka sama sekali tak akan mengubah keyakinanku atas pemahaman tentang pengkhianatan, terlebih pengkhianatanmu sayang. Mereka yang terlalu naïf mengagungkan cinta. Bahkan lebih memuakkan. Mengkultuskan cinta dan tanpa sadar telah menyingkirkan Sang Pemilik Cinta. Menjadikan cinta berhala yang selalu mereka sembah. Memaknai cinta sedalam dan seluas yang mereka mau tanpa pernah memahami keagungan Sang Pencipta Cinta.

                Pengkhianatanmu memberikan kehidupan baru bagiku. Tanpa pengkhianatanmu, tak akan pernah ada kekuatan hati seindah milikku sekarang. Tanpa pengkhianatanmu, tak akan ada pemaknaan indah mengenai kehidupan, sayang. Pengkhianatanmu, menjadikan hidupku tak hanya dipenuhi warna secerah pelangi. Penghianatanmu, memberikan warna baru segelap langit malam tanpa bintang. Pengkhianatanmu, layak aku berikan penghargaan. Percayalah aku sama sekali tak mengejekmu atas kalimat itu. Aku dengan tulus berterima kasih. Sudah aku bilang bukan bahwa aku tak akan berkhianat atas makna kata yang kuucap.

                Meski kini tak ada kisah kita bersama seindah belasan tahun yang telah kita lewati, aku yakin akan ada kisah baru meski pengkhianatanmu tak akan membuat kisah lama kita terulang. Kisahku dan kisahmu. Bukan lagi kisah kita. Biarkan pena tergores di kertasnya masing-masing tanpa perlu mencontek goresan kertas yang lain. Biarkan kau dan aku menjemput takdir yang berbeda, dan aku berharap tak lagi ada pengkhianatan. Meski kini aku telah berdamai dengan kata menjijikkan itu, aku tetap tak ingin kembali merasakan pengkhianatan seperti yang kau sodorkan dulu. Sekali lagi aku dengan tulus berterima kasih, sayang. Untukmu yang pernah menjadi bagian dari lukaku, luka bekas pengkhianatan. Aku pernah menyayangimu sebelum pengkhianatan. Dulu, kini dan nanti, semua tak lagi sama.


                                                                                               Aku yang pernah terkhianati

Tidak ada komentar: