Selasa, 30 Oktober 2012

Ada yang salah dengan shaf kita?


Kita tentu saja mengetahui bahwa Ramadhan tak hanya menjadi sebuah momentum perubahan bagi pribadi-pribadi beriman menuju arah yang lebih baik. Lebih dari itu, Ramadhan kini mampu menjadi sebuah fenomena bagi masyarakat kebanyakan untuk saling berlomba menuju kebaikan. Ramadhan yang telah berselang 10 hari ini memberikan sebuah fenomena yang tak pernah hilang tersematkan di diri umatnya, yakni ramainya masjid di awal Ramadhan. Bisa kita yakini jika hampir di seluruh masjid di Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah jama’ah selama awal Ramadhan. Fenomena ini tentu saja amatlah baik dan menggembirakan. Namun seperti pengalaman di Ramadhan sebelumnya, fenomena ini cukuplah hanya menjadi fenomena yang mampu dipastikan hanya akan bertahan di awal Ramadhan.
            10 hari ini saya mengikuti shalat tarawih di dua masjid berbeda di pinggiran Jakarta, fenomena ini tentu saja berlaku di sana. Hampir seluruh badan masjid terisi penuh oleh jama’ah shalat tarawih. Begitu indah dan menyejukkan ketika melihat fenomena tersebut. Bahkan saking tak muatnya menampung jama’ah, para jama’ah Salat Tarawih pun rela untuk menggelar sajadahnya di emperan bahkan hampir di luar pelataran masjid. Pada saat ceramah di sela-sela jenak sebelum melanjutkan Salat Tarawih, Khatib mengingatkan untuk menjaga fenomena ini agar terus terjaga sehingga masjid benar-benar terasa “makmur” adanya.

            Di malam pertama Salat Tarawih di pinggiran Jakarta Selatan, shaf jama’ah salat cukup rapih dan tertata, hanya sedikit ruang kosong yang tersisa. Namun jarak antara satu jama’ah dengan jamaah lainnya cukuplah renggang. Para jama’ah umumnya menempati satu sajadah yang cukup lebar untuk satu orang, dan enggan untuk merapatkan diri ke jama’ah lain yang juga menggunakan satu jama’ah yang lebarnya melebihi punggung masing-masing. Ketidakrapatan jamaah ini menjadi fenomena lain yang akhinya menyita perhatian.
Di malam kedua Salat Tarawih, saya berkesempatan untuk melaksanakan Salat Tarawih di salah satu masjid di pinggiran kota Jakarta Timur. Di sini, keberadaan shaf justru lebih mengkhawatirkan. Meski jama’ah cukup membludak sampai ke pelataran masjid, namun ternyata masih terdapat shaf kosong di antara shaf yang dari luar terlihat telah terisi penuh. Selain kekosongan shaf yang berlihat “bolong-bolong” itu pun, saya menemukan fenomena lainnya, bahwa diantara barisan yang satu dan yang lainnya sama sekali tak terintegrasi menjadi sebuah kumpulan shaf yang rapih dan seperti bata yang disusun.
Ah cukup jauh dari kata rapih dan teratur.
Sejauh saya mengamati, sama sekali tak ada yang berusaha untuk saling mengingatkan akan pentingnya kerapihan shaf dalam salat. Para jama’ah terlalu asyik berada di atas sajadahnya yang seolah menjadi singgasananya pribadi dan tak boleh disentuh oleh siapapun, termasuk jama’ah lain. Sedangkan kewajiban mebentuk shaf yang rapih terabaikan karena kenyamanan atas “singgasana” pribadinya. Atau bahkan ada juga yang merasa terusik jika jama’ah lainnya berusaha mendekat untuk merapatkan shaf salatnya. Aneh bukan?
Ah ya selalu ini yang menjadi persoalan, ketidakteraturan jamaah dalam shaf salat seolah telah menjadi momok yang sulit diperbaiki. Padahal Allah amat menyukai barisan yang kokoh dan tersusun rapih. Mungkin inilah cerminan sederhana yang menjadi fenomena masyarakat muslim pada saat ini. Fenomena yang telah menjadi kebiasaan dan pada akhirnya menghambat potensi umat Islam untuk meraih kecemerlangannya. Mungkin ada baiknya jika kita sudah menyadari betapa buruknya kondisi ini, mulailah untuk bergerak memberikan sebuah warna berbeda bagi masyarakat muslim di sekitar kita. Karena bisa jadi, apa yang terjadi di masyarakat muslim saat ini adalah akumulasi ketidakpahaman masyarakat akan pemahaman Islam yang komprehensif sehingga kebanyakan masyarakat hanya menjalankan ibadahnya menjadi sekadar ritual yang sekadar ditunaikan. Oleh karena itu akan lebih baik jika kita berusaha memberikan sentuhan warna baru bagi masyarakat muslim agar tercipta barisan Islam yang kokoh dan teratur. Sehingga kecemerlangan Islam menjadi sebuah keniscayaan menjadi sesuatu yang bisa kita raih.
Waallahu a’lam.

Tidak ada komentar: