Oleh Erin Nuzulia Istiqomah
Kisah ini bermula dari adanya keinginan dan passion yang kuat
atas dunia pendidikan dan anak-anak yang amat saya gemari. Sebuah kesempatan
pengabdian yang ada lebih dulu harus terlewati karena saya tidak mengambil
kesempatan untuk mengikuti K2N meski sudah lolos seleksi. Bukan penyesalan,
nyatanya saya mengambil pilihan yang juga tepat untuk pengabdian masa depan
nantinya demi Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Membayar kesempatan
yang terlewati beberapa bulan sebelumnya, terpanggil hati saya untuk menunggu
kesempatan yang tepat mengikuti bentuk pengabdian yang lain.
Aksi mengajar di pelosok menjadi alternatif pengabdian yang selama
ini ditunggu-tunggu. Gerakan UI Mengajar. Inilah kesempatan yang harus
diperjuangkan keberhasilannya. Bulan September 2012, inilah langkah awal saya
untuk memperjuangkan pengabdian ini. Pendaftaran sebagai 30 orang pengajar
terpilih pun dibuka. Semua berkas yang dibutuhkan saya persiapkan dengan baik.
Inilah usaha terbaik yang mampu saya lakukan. Seleksi berkas dan esai lolos,
dilanjutkan dengan simulasi mengajar di SDN Pondok Cina 04 hingga akhirnya
pengumuman 30 Pengajar Terpilih yang akan mengabdikan dirinya selama 23 hari di
aksi mengajar ini. Saya termasuk di dalamnya dan perjuangan pun dimulai selama
aksi mengajar yang berlangsung sejak 9 Januari—3 Februari 2013.
Kampung Kapinango, Keterbatasan dalam Dinamisasi Kehidupan Sosial
Kami menginap di Kecamatan Sobang, merasakan menginap tanpa aliran listrik yang
menyala disertai hujan yang menderas, dan banjir, membuat kami mencicipi awal
pengabdian yang luar biasa. Inilah saat di mana pengabdian kami diuji
niat-keikhlasan-ketulusan-nya. Rombongan Gerakan UI mengajar harus merasakan
mengungsi karena kebanjiran sebelum akhirnya pergi ke lima titik yang
ditargetkan sebagai tempat aksi kami mengajar.
Esok hari kami mulai untuk mencapai titik masing-masing dengan menggunakan truk
karena akses jalan yang sangat sulit dan penuh lumpur. Di setiap titik kami dibagi
menjadi enam orang pengajar dan belasan panitia. Pembagian tugas dilakukan
secara jelas agar tidak terjadi tumpang tindih. Pengajar fokus pada
pengembangan sekolah, sedangkan panitia fokus pada pengembangan masyarakat
daerah sana. Saya mengabdikan diri selama 23 hari di Kampung Kapinango, Desa
Kutamekar, Kecamatan Sobang, Pandeglang, Banten. Mengajar kelas 1 di SD Negeri
Kutamekar 1.
Kedatangan kami di sana disambut dengan baik oleh para warga desa yang
kebanyakan bekerja sebagai petani. Masing-masing pengajar bertempat tinggal di
rumah warga dan saling terpisah. Sedangkan panitia tinggal secara bersama di
salah satu rumah yang memang kosong. Awal kedatangan kami di sana, warga desa
selalu merasa sungkan dan tidak enak karena tidak bisa menghadirkan makanan
selayaknya yang biasa kami makan di Jakarta. Namun seiring berjalannya waktu,
mereka dapat menerima kami dengan baik.
Kehidupan di kampung sana amatlah statis, tidak ada suatu inovasi yang membuat
kampung tersebut terasa lebih ramai dan terlihat dinamisasi kemajuannya.
Listrik memang sudah masuk ke kampung ini. Namun sayang, optimalisasinya belum
dapat dirasakan oleh para masyarakat kampung ini, termasuk saya. Listrik sering
kali terputus di saat malam hari, atau saat siang hari tanpa ada pemberitahuan
sebelumnya. Hal ini berlangsung setiap hari. Produktivitas di kampung ini tentu
saja tidak dapat terealisasi dengan baik karena kendala ini.
Seperti yang saya alami, jika sebelumnya di Jakarta saya beristirahat
pukul 01.00 dini hari karena melakukan banyak aktivitas yang menggunakan tenaga
listrik, dan memulai aktivitas di pukul 03.30, di sana pola hidup saya berubah
drastis. Pukul 21.00 setelah mengajar di TPA dan evaluasi bersama panitia,
sesampainya di rumah hanya bisa langsung istirahat karena kondisi laptop yang
tak lagi memiliki daya dan tak ada penerangan untuk melakukan apa pun. Hal
inilah yang membuat saya sempat sakit selama kurang lebih seminggu karena pola
hidup yang berubah, meski saya tetap memaksakan diri untuk tetap mengajar.
Masyarakat di sana kebanyakan bekerja sebagai petani, TKI, atau pembantu rumah
tangga di Jakarta. Pagi hingga sore hari mereka akan menghabiskan waktunya di
sawah atau kebun, kembali menjelang magrib dan mengisi malam mereka dengan
menonton televisi, jika listrik menyala. Hal itu berlangsung setiap hari,
hingga menjadi suatu kewajaran jika kehidupan siang di kampung ini amatlah
sepi. Malam hari setelah magrib, hanya anak-anak yang pergi keluar rumah untuk
mengaji di majelis yang diasuh oleh salah satu tokoh masyarakat. Masyarakat
biasanya sudah menutup pintu rumahnya dan sibuk menonton televisi di dalam rumah.
Meski begitu, jangan tanya masalah kehidupan sosial mereka, dari ujung kampung
hingga ujung satunya lagi mereka saling mengenal satu sama lain, saling tahu ia
anak siapa dan siapa namanya. Belum lagi untuk masalah berita yang
berkembang di kampung tersebut, rasanya dalam waktu kurang dari satu jam bisa
menyebar ke hampir seluruh masyarakat kampung. Para ibu gemar berkumpul di
salah satu rumah untuk saling mengobrol dan tahan hingga berjam-jam. Kurangnya
hiburan dan begitu “datar”nya kehidupan masyarakat di kampung tersebut membuat
mereka amat menyenangi pesta rakyat dengan dangdut sebagai salah satu musik
pengiringnya.
Kesibukan
mereka dalam mencari sesuap nasi mengorbankan banyak hal demi masa depan yang
baik di kehidupan mereka kelak.
Kapinango adalah sebuah kampung yang terletak kurang lebih 45
menit dari Kecamatan Sobang jika menggunakan kendaraan atau 2 jam jika berjalan
kaki. Kapinango adalah kampung dengan kondisi jalan yang “luar biasa”, liat, di
penuhi genangan air layaknya sungai, dan tak segan membuat kaki kita
terjerembab masuk ke dalam tanahnya jika tidak menggunakan sepatu boot.
Beberapa rumah di sana sudah ada yang berdiri tegak dengan menggunakan tembok,
tetapi banyak juga yang berdiri dengan gedek, termasuk rumah yang
saya tempati. Untuk sumber air bersih, bak di kamar mandi mereka menampung air
langsung dari air hujan sehingga sangat wajar jika bak yang mereka miliki di
setiap rumah amatlah besar. Jika hari itu tidak hujan, barulah mereka akan
mengusahakan mengambil air bersih di tempat lain.
Jangan harap di sana akan menemukan mobil atau jalan beraspal karena tak akan
menemukannya di kampung ini. Di sana kita hanya akan menemukan motor sebagai
salah satu alternatif transportasi termudah yang dapat digunakan dengan kondisi
jalan seperti trek off road. Itu pun jarang berseliweran karena
memang masyarakat lebih banyak menghabiskan waktunya di sawah. Di sana tak akan
menemukan bising suara kendaraan yang berseliweran, tapi kita akan menemukan
bunyi longlongan anjing, kambing yang mengembik lengkap dengan suara lonceng
yang menempel di lehernya, atau bebek yang tak berhenti mengeluarkan suaranya.
Masjid di sana amat sepi jamaah, hanya tiga sampai lima orang yang biasa
mendirikan salat jamaah di masjid, itu pun hanya berlaku ketika Magrib dan
Isya. Selebihnya, masjid hanyalah bangunan kosong tanpa penghuni dan tak ada
yang mengisinya. Kehidupan kampung Kapinango masih erat dengan kegiatan klenik.
Di atas pintu depan rumah tergantung berbagai macam sesajen yang dipercaya akan
membawa keamanan dan keselamatan. Belum lagi hampir seluruh anak, baik
perempuan maupun laki-laki, mereka mengalungi jimat di leher ataupun di
pinggang mereka. Meski begitu, tetap ada upaya mendekatkan diri dengan Allah
secara berjamaah melalui pengajian ibu-ibu yang diadakan seminggu sekali di
setiap hari Minggu pukul 08.00—11.00 siang.
Masyarakat di sini kebanyakan masih buta huruf dan belum bisa mengaji. Hal ini
menyebabkan mereka hanya mengandalkan pekerjaan yang membutuhkan otot dan
tenaga dibandingkan dengan pekerjaan yang membutuhkan otak. Mereka banyak yang
sudah menikah, putus sekolah, dan bekerja di usia awal belasan. Pendidikan
belum menjadi sesuatu yang penting untuk dipenuhi dalam kebutuhan hidup
masyarakat daerah kampung Kapinango.
Pendidikan Kapinango Menyerah dengan Keterbatasan Keadaan, Sebuah
Usaha Seadanya
Kapinango memiliki sebuah
sekolah dasar bernama SD Negeri Kutamekar 1. Di sanalah anak-anak yang berasal
dari dua desa terdekat lainnya, Rajasa dan Bulakan, ikut menimba ilmu. Meski
dua desa terdekat, untuk mencapai Rajasa membutuhkan waktu satu setengah jam
untuk mencapainya, melewati jalanan seperti sungai, dan sawah. Sedangkan untuk
mencapai Bulakan kondisinya tak berbeda jauh, untuk mencapai Bulakan harus
berjalan kaki kurang lebih satu jam dan melewati hutan serta ilalang setinggi
pinggang orang dewasa dan masih terdapat babi hutan yang berkeliaran, belum
lagi jika hujan datang maka sungai akan meluap.

Awal sebelum mengajar saya
menargetkan para siswa yang sudah memasuki semester dua ini untuk membaca
dengan lancar dan menguasai hitungan hingga puluhan. Namun melihat realita di
lapangan, sungguh jauh panggang daripada api. Enam bulan mereka bersekolah,
mereka masih juga belum mengetahui bentuk dari huruf A seperti apa. Miris.
Setelah menyelidiki lebih jauh kepada pihak sekolah, orangtua, dan anak-anaknya
langsung, dapat disimpulkan bahwa selama ini memang mereka tidak mendapatkan
kesempatan mengenyam pendidikan dengan sepenuhnya. Guru yang jarang masuk
karena kesejahteraan yang tidak terpenuhi menjadi alasan utama mengapa pendidikan
mereka terhambat. Nyatanya tidak hanya kelas 1, bahkan di kelas 4 pun masih ada
siswa yang belum bisa membaca dan belum mengenal abjad hingga kini.
Mau tak mau, Rancangan
Pembelajaran yang sudah disusun harus diubah sesuai dengan keadaan. Targetpun harus
diturunkan dari standar, memastikan mereka mengenali huruf abjad dan belajar
berhitung hingga mencapai 20 menjadi target utama dalam aksi ini. Nyatanya
kondisi di lapangan tak sesuai dengan yang diharapkan. Mengajarkan A hingga E
membutuhkan waktu lima hari dan anak-anak masih ada yang belum bisa membedakan
perbedaan bentuk huruf tersebut meski sudah berbagai metode digunakan.
Hitunganpun masih ada yang belum bisa memahami hingga hitungan ke sepuluh.
Tidak adanya media
pembelajaran di sekolah ini membuat anak-anak ini menjadi sangat sulit untuk
memahami sesuatu, belum lagi orangtua mereka yang amat sibuk mencari sesuap
nasi sama sekali tak sempat untuk mengajari mereka, terlebih mereka juga buta
huruf. Peliknya masalah ini membuat pendidikan di sekolah ini tertinggal jauh.
Anak-anak di sana layaknya anak pada umumnya, haus akan perhatian, masih harus
dituntun ketika menulis, menangis ketika tidak bisa mengerjakan atau
bahkan berlari-lari di tengah pelajaran.
Jika bukan karena kecintaan
pada pengabdian ini, mungkin menyerah adalah salah satu jalan yang rasanya
ingin ditempuh. Namun semangat dan saling berbagi optimisme antarpengajar
membuat pengabdian ini terasa lebih menyenangkan. Mengubah keadaan yang penuh
keterbatasan ini menjadi sesuatu yang dapat mengangkat keberhargaan diri siswa
dan rasa gemar membaca seperti nilai yang ditargetkan dalam GUIM. Berbagai
karakter anak terlihat jelas ketika saya mengajar, namun ada sebuah persamaan
yang membuat perjuangan ini kian bermakna, keberhargaan diri siswa kian
meningkat dari hari ke hari, sama meningkatnya dengan kemampuan mereka dalam
mengenali huruf abjad dan berbagai hitungan yang selalu diulang dan dipelajari
tanpa bosan setiap harinya.
Semangat Belajar Tanpa Batas
Ada yang berbeda dengan siswa SD Negeri Kutamekar 1, semangat mereka kian
menyala ketika kami datang dan rutin mengajar di kelas, membawakan berbagai
macam metode baru mengenai pembelajaran kreatif, dan kasih sayang atas nama
cinta pada seluruh siswa membuat mereka mendadak menjadi anak yang memiliki
percaya diri tinggi serta intelektualitas yang meningkat. Adanya kami di sana
diharapkan mampu menjadi stimulus agar mutiara tersebut mampu menampakkan
dirinya di balik lumpur keterbatasan. Lebih dari itu, kami juga mengharapkan
dedikasi dari para guru yang mengajar di sana agar ketulusan senantiasa
menemani semangat dan keberhargaan diri siswa yang senantiasa telah tumbuh
bersamaan dengan habisnya masa pengabdian kami di sana.
4 komentar:
aku warga sekitar pinango,,,terimakasih banyak atas kepedulian sodari terhadap warga kampung kami,,,,,,kekali lagi aku ucapkan banyak2 terima kasih,,,
sama-sama pak Adam, saya senang menjadi bagian dari sana. apa kabar kapinango? saya begitu merindukan suansana di sana
masih seperti dulu dalam suasana yg serba terbatas dan jalan rusak,,,,,,,,,,
Sukur alhamdulillaah diantara anak" yg ibu didik itu salah satunya ada anak saya bu, bgtu terkesanya dia sehingga sll mengingatnya,, terima kasih ibu jasamu sungguh besar
Posting Komentar