Minggu, 27 Februari 2011

Seharusnya Kita Mampu Menjalankan Amanah dengan Amanah

Lama tak berjumpa membuatku begitu ingin bercengkrama dengannya, menumpahkan segala kisah yang aku simpan. Segala penat yang terangkum seolah mencoba berlomba keluar dari lisan yang hina ini. Namun apa daya, tak seluruhnya mampu aku tumpahkan padanya sore itu juga, mengingat keterbatasan waktu yang ia miliki. Dua minggu tak aku jumpai dirinya dalam perbincangan rutin yang kini menjadi sebuah kebutuhan bagiku, siang ini ia hadir dengan segenap asa dan kekayaan jiwa yang membasuh keringnya hati ini. Ia hadir membawa kesegaran, memberikan celah perbaikan, dan menawarkan segala penyembuh bisa yang terjamah olehku beberapa hari ini.
Entah ikatan apa yang membuatku begitu leluasa dan nyaman menumpahkan segala isi hatiku padanya. Hal yang jelas  yang sampai kini aku ketahui dan mampu aku pahami adalah kami berjodoh. Ya benar, berjodoh dalam sebuah ikatan perbaikan ruhiyah yang rutin kami lakukan. Allahlah yang mengirimkannya untuk membina dan menempaku untuk mampu menjadi seseorang sepertinya. Seseorang yang juga mampu menjadi bagian dari jalan besar yang disukaiNya.  Dan aku begitu amat bersyukur telah mengenalnya dan menjadi bagian dari hidupnya.

Sesaat setelah kami menunaikan salat ashar, entah siapa yang memulai, perbincangan mengalir begitu hangat. Meski aku tahu ada kekhawatiran di wajahnya karena sempitnya waktu yang ia miliki. Namun ia menukarkan sedikit waktu, yang seharusnya ia gunakan untuk menimba ilmu, dengan mendengarkan segala ocehanku dan temanku. Setiap kali diskusi mengalir di antara kami, sungguh begitu banyak hikmah yang mampu aku ambil dari setiap kata yang keluar dari lisannya. Begitu banyak pilihan kata yang ia gunakan dengan secermat mungkin tanpa tertinggal efek inteletualitas yang terpancar dari wajahnya.
Di sela diskusi kami, ia mengucapkan sebuah kalimat yang membuatku sedikit merenungi perkatannya. “Seharusnya kita mampu menjalankan amanah dengan amanah.” Begitu ucapnya lembut tanpa merubah ekspresi wajahnya.  Sebuah kalimat yang sepanjang perjalanan pulang bersamanya selalu terbersit dalam pikiranku. Ia begitu mampu masuk ke dalam relung hatiku dan temanku. Mengucapkan sebuah kalimat yang menghujam tepat di sisi hatiku dalam memandang sebuah amanah. Sebuah kalimat yang membuatku tersadar bahwa amanah bukan sebuah permainan yang sekadar di mainkan atau bahkan hanya sekadar kewajiban yang harus segera ditunaikan. Perkataannya seolah kembali menyadarkanku bahwa kehadiranku di dunia ini bukan hanya untuk menikmati segala yang Dia berikan. Tetapi juga memperjuangkan kembali segala hal yang juga menjadi hakNya untuk diperjuangkan. Tentu saja dengan cara menjalankan amanahNya dengan amanah. Amanah tak lagi menjadi sebuah kata benda yang harus aku tunaikan. Tetapi juga menjadi sebuah cara untuk menjalankan amanah itu sendiri.
Tak lama ia tambahkan ucapannya “Dek, amanah itu tak pernah salah tempat. Allah yang memilihkannya langsung untukmu. Sedangkan mereka (yang memberikan amanah) hanyalah media yang Allah gunakan untuik menyampaikan amanah ini kepadamu.” Ia benar batinku. Selama ini konsep itu memang telah lama terpahat di otakku, namun belum di hatiku. Hm, kali ini ia memberi pupuk yang dapat menyuburkan akar-akar yang tumbuh di hatiku. Menjadikan akar itu tumbuh subur dan menghujam tepat di lubuk hatiku. Kembali aku temukan hal yang tak ada alasan lagi bagiku untuk berhenti bersyukur kepadaNya.  Ia memang istimewa. Seistimewa posisinya di hatiku.
Terima kasih ya Rabb telah Kau hadirkan ia dalam hidupku,
Terima kasih ya Rabb telah Kau izinkan ia membinaku menuju jalanMu,
Terima kasih ya Rabb telah Kau jaga ia selama ia menjagaku,
Terima kasih ya Rabb telah Kau tambahkan ilmunya seperti ia memberikan ilmunya padaku,
Terima kasih ya Rabb telah Kau izinkan aku mengenalnya
Dan terima kasih ya Rabb telah Kau tunjukkan betapa ia sangat amanah dalam menjalankan amanahnya…

Tidak ada komentar: